MENGENAL TENTANG TUBERKULOSIS

Oleh : Tsaqifa Adzillah


Sumber: verywellhealth.com

Perhatian aktivis sedunia dikejutkan oleh deklarasi “kedaruratan global” (the global emergency) tuberculosis pada tahun 1993 dari WHO, karena sebagian besar negara-negara di dunia tidak berhasil mengendalikan penyakit tuberkulosis. Hal ini disebabkan oleh angka kesembuhan penderita yang berdampak pada tingginya penularan. Penyakit tuberkulosis sudah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi. Menurut hasil penelitian, penyakit tuberkulosis sudah ada sejak zaman Mesir kuno yang dibuktikan dengan penemuan pada mumi. Pada tahun 1882, ilmuwan Robert Koch berhasil menemukan kuman tuberkulosis, yang merupakan penyebab penyakit ini. Kuman ini berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama “Mycobacterium tuberculosis”.

Tuberkulosis merupakan penyakit kronik, menular, yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang ditandai dengan jaringan granulasi nekrotik (perkijauan) sebagai respons terhadap kuman tersebut. Penyakit ini menular dengan cepat pada orang yang rentan dan daya tahan tubuh lemah. Diperkirakan seorang penderita tuberculosis kepada 1 dari 10 orang di sekitarnya. Tuberkulosis adalah penyakit yang mengganggu sumberdaya manusia dan umumnya menyerang kelompok masyarakat dengan golongan sosial ekonomi rendah Tuberkulosis masih merupakan penyakit penting sebagai penyebab morbiditas dan mortalitas, dan tingginya biaya kesehatan Setiap tahun diperkirakan 9 juta kasus TB baru dan 2 juta di antaranya meninggal. Dari 9 juta kasus baru TB di seluruh dunia, 1 juta adalah anak usia 25%.

Mayoritas anak tertular TB dari pasien TB dewasa, sehingga dalam penanggulangan TB anak, penting untuk mengerti gambaran epidemiologi TB pada dewasa. Infeksi TB pada anak dan pasien TB anak terjadi akibat kontak dengan orang dewasa sakit TB aktif. Diagnosis TB pada dewasa mudah ditegakkan dari pemeriksaan sputum yang positif. Sulitnya konfirmasi diagnosis TB pada anak mengakibatkan penanganan TB anak terabaikan, sehingga sampai beberapa tahun TB anak tidak termasuk prioritas kesehatan masyarakat di banyak negara, termasuk Indonesia. Akan tetapi beberapa tahun terakhir dengan penelitian yang dilakukan di negara berkembang, penanggulangan TB anak mendapat cukup perhatian. Dari beberapa negara Afrika dilaporkan hasil isolasi Mycobacterium tuberculosis (MTB) 7%-8% pada anak yang dirawat dengan pneumonia berat akut dengan dan tanpa infeksi human immunodeficiency virus (HIV), dan TB merupakan penyebab kematian pada kelompok anak tersebut. Dilaporkan juga dari Afrika Selatan bahwa pada anak anak yang sakit TB didapatkan prevalensi HIV 40 %-50%.

Masalah yang dihadapi saat ini adalah meningkatnya kasus TB dengan pesat selain karena peningkatan kasus penyakit HIV/AIDS juga meningkatnya kasus multidrug resistence-TB (MDR-TB), hasil penelitian di Jakarta mendapatkan >4% dari kasus baru. Masalah lain adalah peran vaksinasi BCG dalam pencegahan infeksi dan penyakit TB yang masih kontroversial. Berbagai penelitian melaporkan proteksi dari vaksinasi BCG untuk pencegahan penyakit TB berkisar antara 0%-80%, secara umum diperkirakan daya proteksi BCG hanya 50%, dan vaksinasi BCG hanya mencegah terjadinya TB berat, seperti milier dan meningitis TB. Daya proteksi BCG terhadap meningitis TB 64%, dan miler TB 78% pada anak yang mendapat vaksinasi

Salah satu metode untuk estimasi insidensi TB dan evaluasi TB di komunitas atau di suatu negara dilakukan dengan menilai ARTI (Annual Risk of Tubeculosis Infections) di populasi umum. Nilai ARTI menggambarkan proporsi individu di komunitas yang berpeluang terinfeksi atau terinfeksi ulang dalam kurun waktu satu tahun, diperkirakan dari hasil survei uji tuberkulin di populasi umum.8 Dilain pihak, ARTI merupakan indikator transmisi di komunitas yang bergantung pada prevalensi kasus TB yang infeksius dan efikasi dari aktivitas pengendalian TB seperti penemuan kasus (case finding) dan pengobatan.

Untuk menilai faktor risiko harus dibedakan antara infeksi TB dan sakit TB. Risiko infeksi TB tergantung pada lamanya terpajan, kedekatan dengan kasus TB, dan beban kuman pada kasus sumber. Risiko tinggi untuk sakit TB antara lain umur kurang dari 5 tahun (balita), malnutritisi, infeksi TB baru, dan imunosupresi terutama karena HIV.

Sulitnya menegakkan diagnosis TB pada anak, maka data TB anak sangat terbatas termasuk di Indonesia. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, WHO sedang melakukan upaya dengan cara membuat konsensus diagnosis di berbagai negara. Dengan adanya konsensus TB, diharapkan diagnosis TB anak dapat ditegakkan, sehingga kemungkinan overdiagnosis atau underdiagnosis dapat diperkecil dan angka prevalens pasti dapat diketahui.

Indonesia memiliki beban penyakit tuberkulosis yang tinggi. Indonesia merupakan negara pertama diantara High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global tuberkulosis untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada tahun 2009, tercatat sejumlah 294.732 kasus tuberkulosis telah ditemukan dan diobati (data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA (+). Dengan demikian, case notification rate untuk TB BTA (+) adalah 73 per 100.000 (case detection date 73%). Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target global tersebut merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB nasional yang utama

Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik), dan tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain), yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif. Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif. Berarti bayi dari seorang ibu dengan BTA sputum positif memiliki risiko tinggi terinfeksi TB. Semakin erat bayi tersebut dengan ibunya, semakin besar pula kemungkinan bayi tersebut terpajan percik renik (droplet nuclei) yang infeksius.

Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif, infiltrat luas atau kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang tidak baik. Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa di sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di dalam sekret endobronkial pasien anak. Beberapa hal yang dapat menjelaskan hal tersebut. Pertama, jumlah kuman pada TB anak pada umumnya sedikit (paucibacillary), tetapi karena imunitas anak masih lemah, jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu menyebabkan sakit. Kedua, lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer biasanya terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi sputum. Ketiga, tidak ada/sedikitnya produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk pada TB anak.

Ada beberapa faktor kemungkinan yang menjadi risiko terjadinya penyakit Tuberkulosis Paru diantaranya yaitu faktor kependudukan (umur, jenis kelamin, status gizi, peran keluarga, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan), faktor lingkungan rumah (luas ventilasi, kepadatan hunian, intensitas pencahayaan, jenis lantai, kelembaban rumah, suhu dan jenis dinding), perilaku (kebiasaan membuka jendela setiap pagi dan kebiasaan merokok) dan riwayat kontak (Umar Fahmi Achmadi, 2005: 282, Kemenkes RI, 2010: 15).

Berbagai penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan faktor risiko kejadian TB Paru mengindikasikan hasil yang inkonsisten karena adanya perbedaan lokasi dan tempat penelitian. Hasil penelitian Nunik Ratnasari (2005) menunjukkan hasil bahwa tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, kepadatan hunian dan intensitas pencahayaan merupakan faktor risiko TB Paru, sedangkan kebiasaan merokok, luas ventilasi dan riwayat kontak bukan merupakan faktor risiko TB Paru. Hal ini bertentangan dengan penelitian Mahmudah (2003) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian TB Paru. Serta pada penelitian Demsa Simbolon (2007) menunjukkan bahwa luas ventilasi dan riwayat kontak merupakan faktor risiko TB Paru.

Kejadian tuberkulosis dipengaruhi oleh beberapa factor :

1. Faktor pertama tuberkulosis adalah faktor umur karena insiden tertinggi penyakit tuberkulosis adalah pada usia dewasa muda di Indonesia diperkirakan 75% penderita tuberkulosis adalah pada kelompok usia produktif.

2. Faktor yang kedua adalah jenis kelamin yang lebih banyak menyerang laki-laki daripada wanita, karena sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok.

3. Faktor ketiga adalah kebiasaan merokok yang dapat menurunkan daya tahan tubuh, sehingga mudah untuk terserang penyakit terutama pada laki-laki yang mempunyai kebiasaan merokok (Alsagaf, 2005).

4. Faktor keempat adalah kepadatan hunian yang merupakan faktor lingkungan terutama pada penderita tuberkulosis yaitu kuman M. tuberculosis dapat masuk pada rumah yang memiliki bangunan yang gelap dan tidak ada sinar matahari yang masuk.

5. Faktor kelima adalah pekerjaan yang merupakan faktor risiko kontak langsung dengan penderita. Risiko penularan tuberkulosis pada suatu pekerjaan adalah seorang tenaga kesehatan yang secara kontak langsung dengan pasien walaupun masih ada beberapa pekerjaan yang dapat menjadi faktor risiko yaitu seorang tenaga pabrik (Luthfi, 2012).

6. Faktor keenam adalah status ekonomi yang merupakan faktor utama dalam keluarga masih banyak rendahnya suatu pendapatan yang rendah dapat menularkan pada penderita tuberkulosis karena pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat layak memenuhi syarat-syarat kesehatan (Manalu, 2010).

Gejala Penyakit Tuberkulosis

Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik.

1. Gejala sistemik/umum:

a. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)

b. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul

c. Penurunan nafsu makan dan berat badan

d. Perasaan tidak enak (malaise), lemah

2. Gejala khusus:

a. Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang disertai sesak.

b. Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.

c. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.

d. Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang

Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah.

Jenis Tuborkulosis

Beberapa Penyakit TB yang sering diderita oleh masyarakat adalah:

1. Tuberkulosis Paru TB Paru adalah penyakit radang parenkim paru yang disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium Tuberculosis. TB Paru mencakup

80% dari keseluruhan kejadian penyakit TB sedangkan 20% selebihnya merupakan TB Ekstra Paru.

a. Gejala utama Batuk terus-menerus dan berdahak selama tiga minggu/lebih.

b. Gejala tambahan yang sering dijumpai

a) Dahak bercampur darah/batuk darah.

b) Demam selama tiga minggu atau lebih

c) Sesak nafas dan nyeri dada.

d) Penurunan nafsu makan.

e) Berat badan turun.

f) Rasa kurang enak badan (malaise, lemah.

g) Berkeringat di malam hari walaupun tidak melakukan apa-apa

2. TB Ekstra Paru TB Ekstra Paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium Tuberculosis yang menyerang organ tubuh selain paru. Penyakit ini biasanya terjadi karena kuman menyebar dari bagian paru ke bagian organ tubuh lain melalui aliran darah.

a. Tuberkulosis Kelenjar Getah Bening TB Kelenjar atau Limfadenitis Tuberculosis adalah penyakit radang kelenjar getah bening yang disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium Tuberculosis. Kelenjar getah bening yang biasa diserang adalah bagian leher, ketiak, dan sela paha.

a) Gejala sistemik/umum:

1. Batuk terus-menerus dan berdahak selama tiga minggu/lebih

2. Demam selama tiga minggu/lebih

3. Penurunan nafsu makan

4. Berat badan turun

5. Rasa kurang enak badan/malaise, lemah

6. Berkeringat di malam hari walaupun tidak melakukan apa-apa

b) Gejala Khusus

1. Munculnya benjolan-benjolan pada bagian yang mengalami gangguan kelenjar seperti leher, sela paha, serta ketiak.

2. Ada tanda-tanda radang di daerah sekitar benjolan kelenjar.

3. Benjolan kelenjar mudah digerakkan.

4. Benjolan kelenjar yang timbul terasa kenyal.

5. Membesarnya benjolan kelenjar yang mengakibatkan hari demi hari kondisinya semakin memburuk dan merusak tubuh.

6. Benjolan kelenjar pecah dan mengeluarkan cairan seperti nanah kotor.

7. Terdapat luka pada jaringan kulit atau kulit yang disebabkan pecahnya benjolan kelenjar getah bening.

3. Tuberkulosis Payudara TB Payudara adalah penyakit radang payudara yang disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium Tuberculosis.

a. Gejala sistemik/umum:

a) Batuk terus-menerus dan berdahak selama tiga minggu/lebih.

b) Demam selama tiga minggu/lebih

c) Penurunan nafsu makan.

d) Berat badan turun.

e) Rasa kurang enak badan (malaise), lemah.

f) Berkeringat di malam hari walaupun tidak melakukan apa-apa.

b. Gejala Khusus

a) Timbulnya benjolan di payudara.

b) Rasa nyeri di bagian payudara.

c) Adanya tanda radang di sekitar benjolan yang timbul di payudara.

4. TB Tulang Belakang (Spondilitis) TB Tulang Belakang atau Spondilitis Tuberculosis adalah penyakit radang tulang belakang yang disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium Tuberculosis.

a. Gejala sistemik/umum:

a) Batuk terus-menerus dan berdahak selama tiga minggu/lebih.

b) Demam selama tiga minggu/lebih

c) Penurunan nafsu makan

d) Berat badan turun

e) Rasa kurang enak badan/malaise, lemah

f) Berkeringat di malam hari walaupun tidak melakukan apa-apa

b. Gejala Khusus

a) Rasa nyeri pada bagian punggung atau mengalami kekakuan punggung.

b) Penderita enggan menggerakkan punggungnya.

c) Penderita menolak untuk membungkuk atau mengangkat barang dari lantai, bila diminta penderita akan menekuk lututunya agar punggung tetap lurus.

d) Rasa nyeri pada punggung berkurang bila penderita beristirahat.

e) Timbulnya benjolan di bagian punggung/tulang belakang.

Cara penularan

1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.

2. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.

3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.

4. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.

5. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

Risiko penularan

1. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.

2. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko Terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.

3. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.

4. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.

Diagnosis Tuborkulosis

Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:

1. Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.

2. Pemeriksaan fisik. Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).

3. Pemeriksaan patologi anatomi (PA).

4. Rontgen dada (thorax photo).

5. Uji tuberkulin.

DAFTAR PUSTAKA

Alsagafi, H; Mukty, H.A. 2005. Dasar-Sasar Ilmu Penyakit Paru, Surabaya: Airlangga University Press.

Luthfi. 2012. Tuberkulosis Nosokomial, Jurnal Tuberkulosis Indonesia, 8 : 30-31. Sejati, A., & Sofiana, L. (2015). Faktor-faktor terjadinya tuberkulosis. KEMAS: Jurnal Kesehatan Masyarakat, 10(2), 122-128.

Manalu, Helper Sahat P. 2010. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis dan Upaya Penanggulangannya, Jurnal Ekologi Kesehatan 9 (4) : 1340 – 1346 Kartasasmita, C. B. (2016). Epidemiologi tuberkulosis. Sari Pediatri, 11(2), 124-9.

Kemenkes RI, 2010, 3B Bukan Batuk Biasa Bisa Jadi TB Pegangan untuk Kader dan Petugas Kesehatan, Jakarta: Kemenkes RI.

Depkes RI, 2007, Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis, Jakarta: Depkes RI. Fitriani, E. (2013). Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru (Studi Kasus di Puskesmas Ketanggungan Kabupaten Brebes Tahun 2012). Unnes Journal of Public Health, 2(1). Aini, N., Ramadiani, R., & Hatta, H. R. (2017). Sistem Pakar Pendiagnosa Penyakit Tuberkulosis. Werdhani, R. A. (2002). Patofisiologi, diagnosis, dan klasifikasi tuberkulosis. Jakarta: Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga. FKUI. Hal, 2-3.




Posting Komentar

0 Komentar

Tentang KSR UPI

KSR PMI Unit UPI merupakan unit kegiatan mahasiswa di bawah naungan Palang Merah Indonesia dan Universitas Pendidikan Indonesia.

KSR PMI Unit mengalami beberapa kali transformasi sebelum menjadi Korps Sukarela Palang Merah Indonesia Unit Universitas Pendidikan Indonesia:

Berawal dari sebuah organisasi tingkat jurusan Biologi yang bernama Keluarga Donor Darah (KDD) Formica yang terbentuk pada tahun 1975. Pada tahun 1983 organisasi ini kemudian berkembang menjadi organisasi tingkat fakultas dengan nama KDD FPMIPA IKIP Bandung yang kemudian berkembang dan akhirnya menjadi sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) tingkat Universitas pada tahun 1985 dengan nama KDD IKIP Bandung.
Sebagaimana namanya, KDD (Keluarga Donor Darah), maka pergerakannya pun terfokus dalam bidang kedonordarahan. Namun seiring bertambahnya usia, organisasi ini memiliki berbagai bidang garapan yang diantaranya kegiatan kepalangmerahan, seperti pertolongan pertama sehingga KDD berubah nama menjadi KDD dan PPPK IKIP Bandung.

Perubahan IKIP menjadi Universitas Pendidikan Indonesia merubah pula nama organisasi ini menjadi KDD dan PPPK UPI. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Musyawarah Anggota XVII, nama organisasi mengalami perubahan lagi menjadi Korps Sukarela PMI Unit UPI (KSR PMI Unit UPI), sebagaimana yang masih digunakan hingga saat ini.