Oleh : Oksy Priamitra Jatnika
Kusta
merupakan salah satu penyakit endemik yang sudah lama menyerang tubuh manusia. Penyakit
kusta telah dikenal sejak 300 tahun sebelum masehi. Hal ini dapat diketahui
dari peninggalan sejarah seperti di Mesir, India 1400 SM, Tiongkok 600 SM, dan
Mesopotamia 400 SM. Pada zaman tersebut penderita kusta merasa rendah diri dan
malu, disamping itu masyarakat juga merasa jijik, takut, dan menganggap bahwa
penyakit kusta merupakan sebuah penyakit kutukan atau dosa.
Pada
tahun 1873, dr. Gerhard Armauer Henrik Hansen dari Norwegia adalah orang yang
pertama kali mengidentifikasi kuman yang menyebabkan penyakit kusta. Penemuan Mycobacterium
leprae membuktikan bahwa kusta disebabkan oleh kuman, dan bukan sebuah
penyakit turun menurun yang berasal dari kutukan atau dosa.
Kusta
berasal dari Bahasa Sanskerta, yakni kustha berarti kumpulan gejala –
gejala kulit secara umum. Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen,
sesuai dengan nama yang menemukan kuman penyebab kusta. Kusta disebabkan oleh Mycobacterium
leprae yang menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya saraf, kulit, dan
mukosa saluran pernafasan atas (World Health Organization, 2019).
Penyakit
kusta terbagi menjadi dua macam, tergantung dari jenis kulit pengidapnya.
Bentuk-bentuk penyakit kusta tersebut, antara lain:
1. Tuberkuloid
Kusta
jenis ini terbilang ringan dan tidak terlalu parah. Seseorang yang mengidap
tuberkuloid hanya mempunyai satu atau beberapa bercak di kulit yang berwarna
putih. Bagian kulit yang terserang mungkin terasa mati rasa, karena sarafnya
rusak. Kusta jenis ini terbilang jarang menular pada orang lain.
2. Lepromatosa
Kusta
jenis ini lebih parah daripada tuberkuloid. Gejala yang terjadi adalah benjolan
dan ruam kulit yang lebar, mati rasa, dan otot melemah. Di samping itu, organ
lain juga mungkin terserang, seperti hidung, ginjal, dan organ reproduksi pria.
Jenis ini lebih menular dibanding tuberkuloid.
Hingga
saat ini Indonesia belum bisa dinyatakan sebagai status eliminasi kusta yaitu
prevelensi kusta kurang dari 1 per 10,000 penduduk. Terdapat 8 provinsi yang
belum berhasil mendapatkan status eliminasi kusta diantaranya Sumatera Utara,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan
Papua Barat.
Pada
tahun 2020 ditemukan sebanyak 9.000 kasus kusta dan total kasus kusta di
Indonesia tercatat 16,704 kasus aktif yang harus mendapat penanganan dan
pengobatan. Dari jumlah
tersebut, 9,4 persen diantaranya adalah kasus kusta anak. Menurut Direktur
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kemenkes RI dr.
Siti Nadia Tarmizi, M.Epid kasus kusta pada anak ini menunjukkan tingginya prevelensi
kusta di daerah tersebut. Biasanya anak tertular dari orang terdekat yang
tinggal di rumah atau pengasuh yang ternyata menderita kusta.
Kusta
dapat menular jika seseorang terkena percikan cairan dari saluran pernapasan (droplet)
dari penderita kusta secara terus-menerus dalam waktu yang lama. Hal ini
menunjukkan bahwa kusta atau lepra tidak dapat menular ke orang lain dengan
mudah. Selain itu, bakteri ini juga membutuhkan waktu lama untuk berkembang
biak di dalam tubuh penderita, dan seseorang tidak akan tertular kusta hanya
karena bersalaman, duduk bersama, atau bahkan berhubungan seksual dengan
penderita. Kusta juga tidak ditularkan dari ibu ke janin yang dikandungnya.
Adapun,
faktor lain yang dapat menyebabkan resiko seseorang terkena penyakit kusta,
yaitu :
·
Bersentuhan dengan hewan
penyebar bakteri kusta, seperti armadillo atau simpanse
·
Menetap atau berkunjung
ke kawasan endemik kusta
·
Memiliki gangguan sistem
kekebalan tubuh
Beberapa
gejala penyakit kusta yang dirasakan oleh para penderita diantaranya :
·
Mati rasa di kulit,
termasuk kehilangan kemampuan merasakan suhu, sentuhan, tekanan, atau rasa
sakit
·
Muncul lesi pucat,
berwarna lebih terang, dan menebal di kulit
·
Muncul luka tapi tidak
terasa sakit
·
Pembesaran saraf yang
biasanya terjadi di siku dan lutut
·
Otot melemah, terutama
otot kaki dan tangan
·
Kehilangan alis dan bulu
mata
·
Mata menjadi kering dan
jarang mengedip
·
Mimisan, hidung
tersumbat, atau kehilangan tulang hidung
Jika
kusta menyerang sistem saraf, maka dapat mengakibatkan kehilangan sensasi rasa termasuk
rasa sakit. Hal ini bisa menyebabkan luka atau cedera yang terdapat di tangan
atau kaki tidak bisa dirasakan oleh penderitanya, akibatnya bisa muncul gejala
hilangnya jari tangan atau jari kaki.
Sampai
saat ini belum ada vaksin untuk mencegah kusta. Diagnosis dini dan pengobatan
yang tepat merupakan pencegahan yang paling baik untuk mencegah penyakit kusta
sekaligus mencegah penularan lebih luas. Selain itu, menghindari kontak dengan
hewan pembawa bakteri kusta, menutup mulut saat bersin, melakukan hidup sehat
dan bersih, serta sering berolahraga untuk meningkatkan imun tubuh sangat
diperlukan untuk mencegah kusta.
Gerakan
– gerakan memberikan informasi mengenai penyakit kusta kepada masyarakat,
terutama di daerah endemik, merupakan langkah penting dalam mendorong para
penderita untuk mau memeriksakan diri dan mendapatkan pengobatan. Pemberian
informasi ini juga diharapkan dapat menghilangkan stigma negatif tentang kusta
dan diskriminasi terhadap penderita kusta.
Referensi
Hertanti,
Nuzul Sri.2020.”Penyakit Kusta Bukanlah Penyakit Kutukan”. Diakses dari
https://tropmed.fk.ugm.ac.id/2020/08/28/penyakit-kusta-bukanlah-penyakit-kutukan/
Halodoc.2019.”Disebut
Penyakit Mematikan,Inilah Awal Mula Penyakit Kusta”. Diakses dari
https://www.halodoc.com/artikel/disebut-penyakit-mematikan-inilah-awal-mula-penyakit-kusta
Pane,
Merry Dame Cristy.2020.”Kusta”. Diakses dari https://www.alodokter.com/kusta
Pusat
Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI.2018.”Hapuskan Stigma dan
Diskriminasi Terhadap Kusta”. Diakses melalui https://pusdatin.kemkes.go.id/
Rossa,
V & Efendi DA.2021.”Hari Kusta Sedunia 2021,Kasus Kusta Anak di Indonesia
Sulit Terdeteksi”. Diakses dari https://www.suara.com/health/2021/01/30/152659/hari-kusta-sedunia-2021-kasus-kusta-anak-di-indonesia-sulit-dideteksi
0 Komentar